Dampak Asap Belum Lenyap, Komnas HAM Perlu Bergerak

 

“Menuntut Pertanggungjawaban Dampak Multidimensi Atas Kabut Asap di Kalimantan Tengah”

PERS RELEASE

Diskusi Publik Asap Yang Tak Lenyap

JPIC Kalimantan dan ELSAM (29/11/2021) – Dampak multidimensi bencana asap di Kalimantan belum lenyap. Sampai sekarang masih dirasakan mulai dari kesehatan, penegakan hukum yang timpang, trauma, hingga peladang yang enggan berladang. Masyarakat pun membuat petisi.

Hal itu terungkap dalam Diskusi Publik dengan tema "Menuntut Pertanggungjawaban Dampak Multidmimensi atas Kabut Asap di Kalimantan Tengah” yang diselenggarakan JPIC Kalimantan bersama ELSAM, pada Senin (29/11/2021).

Hadir sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut antara lain, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin, Deputi Direktur ELSAM Andi Muttaqien, Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Iman Prihandono, Direktur JPIC Fr. Sani Lake, Direktur Progress Kaliteng Kartika Sari, dan dua perwakilan warga Kalteng atau mereka yang menjadi korban banjir saat ini.

Bencana asap terjadi pada tahun 2015 lalu tahun 2019 akibat kebakaran hutan dan lahan. Catatan ELSAM dan JPIC Kalimantan, Indonesia mengalami Karhutla terparah dalam hampir dua dekade, di mana lebih dari 2,6 juta hektar atau lebih dari 4,5 kali luas Bali terbakar dari bulan Juni-Oktober tahun 2015, dengan total 869.754 hektar lahan terbakar merupakan lahan gambut.

Lalu, Koalisi Masyarakat menuntut pemerintah atas hak-hak dasar mereka yang dilanggar.

Dalam gugatan warga (Citizen Law Suit) – Pengadilan Negeri Palangka Raya telah memutuskan, Presiden, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Pertanian, Menteri ATR/ Kepala BPN, Menteri Kesehatan, Gubernur Kalteng, DPRD Kalteng dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum atas terjadinya krisis kabut asap tahun 2015

Tiga masalah utama, yakni rehabilitasi korban ISPA dan kematian dini yang belum ditangani dengan baik, juga rehabilitasi lahan yang terbakar. Lalu, kebakaran hutan dan lahan berulang kali terjadi, namun masih banyak pelaku yang mendapatkan impunitas dan yang terakhir emisi yang dihasilkan oleh karhutla berpotensi menggagalkan komitmen Indonesia dalam Konvensi Perubahan Iklim

Masyarakat kemudian membuat petisi sebagai upaya agar perusahaan-perusahaan, yang konsesinya terjadi kebakaran pada 2015 harus turut bertanggung jawab atas dampak atau pelanggaran hak asasi manusia dalam krisis kabut asap dan perubahan iklim yang diakibatkannya.

Dalam petisi tersebut, Komisi Nasional (Komnas) HAM diminta untuk membuat penyelidikan atau investigasi terkait putusan dan pelanggaran HAM, membuat rekomendasi kepada pemerintah, dan mendorong pemulihan atas dampak multidimensi.

Lily Dwiyanthie, salah satu perwakilan masyarakat Kalteng yang juga merupakan korban bencana asap tahun 2015 maupun 2019, menjelaskan, saat bencana itu terjadi kehidupan laksana bernafas di dalam botol yang dicekoki asap. Anak-anaknya tak bisa sekolah, aktivitas ekonomi pun terhambat, dan banyak hal lainnya. Hingga kini ia pun masih merasakan trauma.

“Hak kami untuk bernafas itu dilanggar, masyarakat berhak mendapatkan lingkungan yang jauh lebih baik,” kata Lily. Pendapat lainnya juga dikemukakan oleh Mey Kristo salah seorang anak muda yang pada tahun 2015 menempuh Pendidikan dikota Palangka Raya yang saat itu sedang darurat asap. Bukan hanya Pendidikan yang terganggu melainkan ekonomi keluarga juga menjadi sasaran sehingga pengiriman uang sekolah dan uang sehari-hari untuk bersekolah menjadi tersendat.

Direktur JPIC Kalimantan Fr. Sani Lake mengungkapkan, segala tuntutan yang harus dijalankan pemerintah sampai saat ini masih menjadi tanda tanya besar. Ada kesan pemerintah tidak mau disalahkan dalam bencana yang berdampak multidimensi itu.

“Pemerintah jangan lagi menunda terhadap tuntutan masyarakat, jalankan saja. Petisi ini menambah semangat korban asap maupun banjir untuk tetap bisa beraktivitas dalam keterbatasan,” kata Sani Lake.

Hal serupa juga disampaikan Direktur Progress Kaliteng Kartika Sari. Dalam tuntutannya, masyarakat ingin mengingatkan kembali peran pemerintah yang diatur dalam kebijakan yang sudah ada.

Sayangnya, hingga sekarang tuntutan itu belum sepenuhnya dijalankan, bahkan ditentang.

Salah satu tuntutannya adalah membangun rumah sakit khusus paru, yang sampai sekarang belum dibangun.

“Masyarakat adat hingga kini enggan berladang karena takut ditangkap polisi, sedangkan aktivitas konsesi terus berjalan dengan nilai kerusakan lingkungan yang jauh lebih besar dibanding sistem berladang masyarakat, bahkan program pemerintah Food Estate juga ikut andil,” ungkap Karitika.

Deputi Direktur ELSAM Andi Muttaqien mengungkapkan, tuntutan kini ditujukan ke Komnas HAM untuk melihat kembali dampak-dampak yang terjadi di tengah masyarakat meski bencana asap sudah lewat, namun masih memiliki potensi besar berulang.

“Tahun lalu pemerintah melakukan peninjauan kembali atas putusan hakim agung yang memenangkan gugatan warga, artinya kami anggap pemerintah tak mau dianggap bersalah,” kata Andi.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga Iman Prihandono menjelaskan, bencana asap di tahun 2015 kemudian berulang pada tahun 2019, sedangkan tahun 2020-2021 tak ada asap karena aktivitas yang dibatasi oleh pandemi, juga faktor alam.

Dalam jenjang waktu itu terdapat kesamaan aktor di balik bencana yakni keterlibatan korporasi.

“Sayangnya, beberapa kasus sampai sekarang belum dieksekusi oleh KLHK, bahkan kasus PT Kumai Sentosa bisa bebas murni. Ini menunjukkan proses judicial kurang efektif salah satunnya karena pemerintah enggan melaksanakan putusan,” ungkap Iman.

Komnas HAM, lanjut Iman, bisa melaksanakan penyelidikan dan bisa memanggil pihak-pihak terkait untuk memastikan jika terjadi pelanggaran HAM di lapangan atau tidak. “Tantangannya besar di lapangan,” katanya.

Melihat hal itu, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin mengungkapkan, pihaknya bisa memfasilitasi pemerintah untuk melakukan rencana pemulihan bencana. Hal itu perlu dilakukan karena sampai saat ini belum ada aturan maupun mekanisme hukum terkait pemulihan di bidang apapun.

“Perlu dirumuskan bentuk pemulihan yang seperti apa nantinya. Perlu saling bantu untuk merumuskan pemulihan ini sehingga lembaga yang disasar jelas,” ujar Amiruddin.

Amiruddin menjelaskan, terkait penegakan hukum pihaknya selalu mengawasi jika terjadi pelanggaran HAM. “Sampai saat ini masih ada aparatur yang belum mudeng (paham) soal HAM,” ujarnya.

JPIC Kalimantan & ELSAM