IMAN DALAM SEJARAH DAN DALAM MASYARAKAT, MENUJU TEOLOGI FUNDAMENTAL PRAKTIS

 

Telaahan Buku: Kritik dan Analisa

Pengarang: Johann Baptis Metz

Judul Buku: Iman Dalam Sejarah dan Dalam Masyarakat, Menuju Teologi Fundamental Praktis

Perpustakaan Teologi Kontemporer, no. 34, Terjemahan ke dalam Bahasa Italia dari Luciano Tosti, Queriniana-Brescia, 1978.

By Bernardus Bofitwos Baru, OSA

1. PENDAHULUAN

Biografia

Johann Baptist Metz, lahir 5 Agustus 1928 di Auerbach, sebuah kota kecil di Utara Jerman adalah seorang teolog Katolik, juga seorang profesor emiritus luar biasa di bidang teologi fundamental di Universitas Münster Wilhelmo Westphalia, Jerman.

Ketika pada usia 16 tahun, Metz telah meninggalkan sekolah dan direkrut ikut pelatihan militer pada akhir Perang Dunia II 1944. Pengalamannya dalam Perang itu sangat menyakitkan baginya. Sebelum akhir Perang dunia kedua, Metz dibawa oleh tentara Amerika dikirim ke kamp perang dan dipenjarakan di Maryland, Virginia, di Amerika Serikat. Setelah ia kembali ke Jerman, ia menyelesaikan studinya di Gimansium; kemudian ia masuk Seminari di Bamberg, lalu masuk ke Serikat Yesuit. Kemudian ia dikirim ke Innsbruck, di mana ia mengawali studi teologinya. Setelah menyelesaikan teologinya, ia ditahbiskan menjadi imam dan melakukan desertasi doktorat di bidang Filsafat dengan tesis tentang pemikiran Martin Heidegger dan teologi St. Thomas Aquinas, dibimbing oleh Karl Rahner. Rahner mendorong Metz menulis beberapa artikel tentang teologi dan menulis di Kamus Ensiklopedia. Fokusnya adalah di bidang antropologi teologis. Bagi Metz, pribadi Karl Rahner sangat penting baginya, karena Rahner berperan sebagai rekan, guru, teman kerja, bahkan lebih dari itu, sebagai ayah bagi imannya.

Hasil Karya

Di bawah bimbingan Rahner, Metz mulai menulis edisi teologi fundamental dengan tema Roh Dunia dan Mendegarkan Dunia. Karya ini didasarkan pada pengalamannya pada Perang Dunia Kedua. Karya Metz yang pertama dimuat pada Majalah ilmiah Christliche Anthropozentrik. Dari beberapa karyanya itu memotivasinya, sehingga ia menghasilkan sebuah karya lain yaitu Kemiskinan Roh, yang lebih menekankan aspek spiritualitas.

Walaupun Rahner sebagai pribadi yang diagungkannya, namun ia megkritik sang gurunya, khususnya idea Karl Rahel tentang teologi transcendental. Kritiknya itu dituangkannya dalam karyanya yaitu teologi politik sebagai teologi praktek atau parksis.

Pemikiran teologi Politik Metz ini sangat memotivasi para teolog Amerika Latin, sehingga mereka pun meformulasi lahirnya teologi pembebasan. Ia juga dipengaruhi oleh semangat Koncili Vatikan II. Karena itu, teologinya dilandaskan pada realitas historis penderitaan dan rasa sakit manusia. Kategori utama dari teologinya adalah memoria, solidaritas, dan cerita atau narasi.

Adapun hasil karya lain dari Metz yaitu Gereja yang Urgen dan Harapan Terhadap Harapan. Ada Ia juga menulis beberapa artikel yaitu Penderitaan untuk Tuhan, Dimensi mistik dan politik dalam Kekeristenan dan Strategi cinta Allah. Artikel-artikel tsb sudah dijadikan buku.

Karya Iman dalam Sejarah dan Masyarakat menjadi sebuah karya yang lebih lengkap dari karya-karya lain. Karyanya ini publikasikan pertama kali pada Zur Theologie der Welt (Pada Teologi Dunia), München 1968, 1985, 99-116; Kemudian hasil karya lainnya: Kebijakan Teologi dan Gereja sebagai Lembaga yang Kritis dan Bebas dari keterikatan kelembagaan, dimuat di Concilium 6/1968, 15-31; Kemudia “Gereja dan Dunia, Firman dalam Sejarah”, Queriniana, Brescia 1968.

Karya Iman dalam Sejarh dan Masyarakat benar-bernar menjadi hasil karya yang menantang dan sangat berani mengkritik sistem Gereja dan Negara serta umat Kristiani agar sungguh-sungguh menjadi tanda nyata dan terlihat dalam realitas penderitaan umat manusia di berbagai bidang: sosial, ekonomi, dan politik. Dengan cara keberadaannya di dunia, Gereja dan umat Kristen harus menjadi tanta perwujudnyataan imannya di tengah masyarakat. Karya ini sebagai "dasar teologi praktis" yaitu "teologi politik." Refleksi teologis ini lebih bersifat teodicea, sejauh mana pertanyaan tentang keberadaan Tuhan ketika berhadapan dengan penderitaan manusia dalam realitas sejarahnya dapat direfleksikannya dan ditemukan solusinya.

Kata "teologi politik" adalah ambigu, tapi sangat diperlukan karena melalui refleksi teologi politik ini dapat mendorong Gereja agar mampu merefleksikan tugas dan misinya di dunia ini. Karya ini juga sebagai sebuah karya sejarah yang dibangun di atas pengalaman penulis sendiri dalam masyarakat tempat ia tinggal, seperti yang kita lihat dalam biografinya.

Tujuan dan Relevansi Karya Metz ini

Realitas masyarakat dan masalah penderitaan dan ketidakadilan yang melanda manusia mendorong Johann Baptist Metz melahirkan hasil karyanya ini. Melalui teologi politiknya mendorong Gereja dan umat Kristen agar berani menanggapi dan membantu menyelesaikan berbagai problem yang terjadi di tengah-tengah dunia . Teologi politik Metz memfokuskan diri pada manusia sebagai “subyek " utama, dan kebajikan solidaritas sebagai undangan kepada orang-orang Kristen agar mewujudnyatakan imannya melalui tindakan dan perbuatan nyata di dalam kehidupan sosial.

Dengan teologi politik ini mendorong orang Kristen agar berani menanggapi berbagai masalah yang melanda masyarakat dunia saat ini sehingga membawa suatu transformasi bagi kehidupan seluruh umat manusia. Relevansi teologi politik ini adalah sebuah kritik bagi teologi terutama teologi transendental dan teologi yang bersifat ideologis, dan juga kritik kepada Gereja dan teolog agar menyadari misinya dan mengembangkan teologi yang tidak hanya mengarah kepada aspek eskatologis semata, dan juga tidak hanya melahirkan teologi yang lebih bersifat mempertahankan (apologetik) iman dalam arti sempit, tetapi juga teologi yang mampu menanggapi masalah manusia dalam kehidupannya yang nyata, bukan ideologi atau spiritualitas abstrak.

2. STRUKTUR DAN ISI BUKU

Buku ini dibagi menjadi tiga bagian: yang pertama adalah skema desain, yang kedua adalah tema Bagian Ketiga kategori. Bagian pertama memiliki empat bab, bagian kedua enam bab dan bagian ketiga memiliki tiga bab.

2.1. Bagian pertama: Iman Dalam Sejarah dan Masyarakat

Bab pertama tentang titik awal dari teologi fundamental. Apa titik awal dari sebuah teologi fundamental? Menurut Metz, titik awalnya adalah kesadaran akan kebutuhan dan kekhasan realitas sejarah, yaitu manusia yang hidup dalam situasi sosial, ekonomi dan politik. Dari kenyataan ini melahirkan kemampuan merumuskan teologi fundamental daripada apologetika atau mempertahankan iman dalam arti sempit.

  1. kedua fokus pada proses perumusan teologi fundamental sejarah berbasis praktik, terutama di dunia Eropa (Perancis, Jerman), yang berusaha untuk menciptakan dasar apologetika yang melahirkan teologi klasik. Ada berbagai ideologi yang turut mempengaruhi teologi seperti Pencerahan, Marxisme, eksistensialisme, sekularisme yang mengkritik agama Kritikan sebagai sebuah ideologi. Teologi politik juga mengritik dogma Gereja sebagai rumusan doktrin Kristen atau Katolik yang kaku dan tidak relevan dalam konteks sekarang.

Bab ketiga menyajikan kritik kepada teologi yang berfokus pada diri sendiri terutama teologi yang lebih berpusat pada masalah pribadi atau individu. Kritik ini ditujukan kepada teologi yang lebih mendukung agama Borguis (agama kaum penguasa). Agama yang memperkuat kekuasaan politik dan ekonomi para penguasa, seperti yang pernah terjadi dalam sejarah Eropa pada abad pertengahan. Karena itu, Metz menegaskan "Saya melihat suatu keniscayaan dalam kenyataan bahwa wawasan dan penemuan dalam bentuk sejarah segera ditafsirkan dalam kategori eksistensialisme dan personalisme teologis". Menurut Metz, cara formulasi teologi yang bersifat eksistensialisme dan personalisme dapat menciptakan pola pikir yang mempertahankan status quo.

  1. empat, menegaskan bahwa teologi politik adalah teologi praktis (praksis). Menurut Metz setiap teologi Kristen, apapun teologinya, harus berlandaskan pada prakisis. Menurutnya, idea Kristen tentang Allah pada dasarnya merupakan idea praktis. Jadi menurutnya setiap pikiran atau refleksi Kristologis-teologis harus berawal dari keutamaan praktek, bukan bermula dari pemikiran abstrak, metafisis (logis semata). Demikian juga dengan teori hermeneutika, tidak hanya hermeneutika abstrak tetapi hermenutika yang riil, bertitiktolak dari dasar yaitu realitas hidup manusia. Jadi sintesis Metz adalah bahwa iman Kristen bukanlah iman dalam pemikiran abstrak atau lahir dari edea tapi iman yang lahir dan berkembang dalam sejarah kehidupan manusia dan terkait dengan realitas sosial, politik dan ekonomi. Jadi, bab empat ini merupakan solusi atas kritiknya pada bab tiga.

2.2. Bagian Kedua: Tema

Bab lima menjelaskan tentang tugas teologi yaitu 'pendekatan atas pengalaman manusia dalam situasi konkretnya, terkait dengan situasi sosial, politik dan ekonomi. Dasar teologi politik adalah memoria passionis kematian dan kebangkitan Yesus Kristus (memoria passionis, mortis et resurrectionis Jesu Christi). Kisah ingatan atas Sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus adalah landasan utama teologi politik Metz. Karena pengalaman penderitaan Yesus adalah pengalaman yang sama, yang juga dialami oleh manusia dalam hidupnya, terutama orang-orang yang menderita rasa sakit dan kekerasan, karena politik, ekonomi, ideologi dan agama. Cakrawala atau tujuan utama dari formulasi teologi politik ini adalah sebagai upaya pembebasan manusia dari segala penindasan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama berlandaskan pada visi eskatologis.

  1. enam berbicara tentang apa arti memoria passionis (Kenangan atas penderitaan). Memoria (kenangan) ini adalah memoria atas realitas atau pengalaman nyata, dan hidup dari Metz sendiri yaitu peristiwa di Auschwitz dan peristiwa perang dunia kedua. Memoria ini adalah memoria (kenangan) yang menyakitkan, memoria (kenangan) yang mengerikan, memoria (kenangan) yang tak terlupakan oleh umat manusia. Memoria ini hendaknya harus selalu dikenang oleh Gereja dan oleh umat Kristen khususnya dan umat manusia umunya agar peristiwa pahit ini jangan terulang lagi. Dengan pengalaman di Auschwitz dan perang dunia kedua menjadi pelajaran kemanusiaan berharga yang harus direfleksikan oleh Gereja, umat Kristen, para pemimpin bangsa agar jangan terulang lagi. Ini adalah tragedi kemanusiaan yang harus terus dingat atau dikenang secara bersama-sama sebagai umat manusia (kenangan kolektif). Memoria Sengsara , wafat dan kebangkitan Yesus adalah pusat (centrum) memoria yang bersifat universal untuk umat manusia. Dalam karyanya Metz menekankan pentingnya refleksi atau studi tentang Allah. Dia menulis, "bicara tentang Allah sama dengan bicara tentang orang-orang yang berseru mohon diselamatkan, khususnya bagi mereka yang menderita secara tidak adil, bagi para korban, yang tersingkir, terbaikan dalam sejarah umat manusia. Bagi Metz, bicara tentang Allah berarti bicara tentang visi dan janji keadilan serta pembebasan sejati bagi semua umat manusia, baik yang telah tiada, yang ada sekarang maupun yang akan datang”.

Jadi menurut Metz, memoria selalu berkaitan dengan sejarah sebagai tempat (locus) utama di mana Tuhan berbicara dan berkomunikasi dengan manusia, khususnya cerita-cerita yang menyerikan: cerita tentang sejarah penindasan, cerita tentang sejarah kekerasan, dan sejarah kemiskinan. Dalam arti Allah sebagai subyek cerita eskatologis masalah manusia yang telah, sedang dan akan terjadi dalam sejarah manusia.

Bab tujuh memuat pembahasan tentang pokok penebusan dan emansipasi. Sikap atau kebajikan yang berasal dari teologi politik adalah penebusan atau pembebasan dan emansipasi terhadap orang lain. Penebusan adalah aspek spiritual, pembebasan dan emansipasi adalah aspek tindakan nyata manusia dalam proses politik. Tindakan pembebasan dan emansipasi adalah tindakan universal yang harus diwujudkan melalui bidang sosial, politik, dan ekonomi.

Bab delapan membahas tentang peran Gereja di dunia ini, terutama kepada orang-orang yang terlibat dalam dunia politik dan ekonomi. Gereja (secara institusi) dan orang Kristen secara pribadi maupun bersama harus mengambil inisiatif untuk membantu orang-orang yang sedang dililit masalah. Gereja dan orang Kristen harus melakukan tindakan efektif dalam mengupayakan pembebasan bagi sesama yang hidup dalam penderitaan politik, ekonomi, sosial - budaya. Karena tindakan tersebut merupakan implementasi dari iman. Visi Metz tentang Gereja yaitu bahwa Gereja secara hakiki adalah Gereja yang tidak hanya mencakup wilayah (teritorial) dan kebangsaan (etnis) tetapi Gereja universal yaitu sebagai umat Allah yang baru, di mana dapat terjalin solidarietas dan rasa kebersamaan untuk saling membantu meringankan beban penderitaan sesama.

Bab kesembilan berbicara tentang krisis identitas keristenan dalam realitas sejarah evolusi manusia dan teologinya. Metz mau menegaskan bahwa krisis identitas sebagai pengikut Kristus telah terjadi dalam sejarah Gereja, karena akibat dari krisis formulasi teologi yang tidak bersumber dari sejarah dan persoalan hidup manusia. Pengalaman ini akan terus terjadi bila para teolog mengembangkan teologinya demi mempertahankan status quo dan kekuasaan para elete serta demi suatu ideologi tertentu.

Bab sepuluh berfokus pada refleksi eskatoligis dalam dua cara yaitu yang dikembangkan oleh Ernst Bloch, yaitu berlalunya waktu eskatologis dan eskatologis di saat terakhir atau waktu yang dibutuhkan. Eskatologi melewati waktu dekat atau imanen, eskatologi yang terakhir adalah eskatologi transendensi. Ide eskatologi mengungkapkan makna harapan Gereja, terutama pengalaman orang-orang yang tinggal dalam krisis sejarahnya. Menurut Ernst Bloch esakatologia ini adalah "kebijaksanaan apokaliptik". Konsep ini juga mengungkapkan proses evolusi manusia dan semua makhluknya. Menurut Ernst Bloch eskatologi yang waktunya sudah dekat adalah eskatologi realitas sejarah manusia yang mendorongnya untuk melihat ke depan atas dasar waktu yang tak terbatas (ruang dan waktu) atau waktu akhir. Waktu transcendental dan imanen menurut, Metz adalah "hari Tuhan" yang sudah di mulai di zaman kita saat ini.

2.3. Bagian Ketiga: Kategori

  1. sebelas mengungkapkan konsep tentang memoria sebagai kategori dasar alasan-kritis praktis. Memoria memiliki dua tradisi yaitu pemikiran (ratio) dan sejarah. Metz membuat perbedaan antara ingatan(ricordo) dan kenangan (memoria). Ingatan adalah seperti organ bersejarah yang ada dalam realitas sejarah. Kenangan adalah aspek psikologis yang berhubungan dengan perasaan dan emosi (afeksi) yang ada atau tersimpan di dalam ingatan. Jadi ingatan berhubungan dengan ratio di mana melihat realitas sejarah dalam kehidupan nyata manusia, sehingga mendorong lahirnya kenangan (memoria) yang didasarkan pada pengalaman sejarah yang ada di dalam ingatan. Kenangan (memoria) di Auschwitz mendorong ingantan (ricordo) Metz, sehingga membuahkan refleksi Kristologis-teologis setelah peristiwa di Auschwitz. Ada dua tradisi kecerdasan ingatan, yaitu refleksi filosofis dan teologis yang mengali makna melalui metode hermeneutika sebagai hermeneutika eksistensial-ontologis. Ingatan menyebabkan pikiran subjektif dari orang tersebut dan dihubungkan dengan kenangan sehingga mendorong sebuah refleksi dengan penalaran analitis, kritis dan obyektif. Jadi dapat disimpulkan bahwa ingatan (ricordo) adalah bagian dari intelektuel - rational, sedangkan kenangan(memoria) adalah bagian dari aspek psikologis dan spiritual-iman yang lebih dalam dan misteri.

Kemudian Metz menegaskan bahwa dogma sebagai suatu ingatan (ricordo) berisiko tidak bermakna, jika dogma tidak direinterpretasi atau re-hermenutika. Iman adalah prinsip kenangan (memoria) yang merupakan jawaban atas pertanyaan yang terus-menerus muncul dalam pikiran manusia tentang janji Tuhan akan zaman akhir (parusia) yang "sudah" dan "belum" terjadi di dalam terang iman (fides), harapan (spes) dan kasih (amor). Ketika dogma tidak memiliki kemampuan untuk mereinterpretasi atau membangun hermenutika yang baru atas makna iman dalam hidup manusia, yang harus merespon realitas pengalaman konkret manusia, maka dogma menjadi suatu ajaran hampa yang tak berarti dan menjadi ideologi belaka.

Bab dua belas berbicara tentang kisah (cerita) yang merupakan cerita dari pengalaman iman. Cerita ini membawa ingatan dan kenangan seperti yang dikatakan oleh Metz. Kemudian ketika kita berbicara tentang cerita atau narasi berarti kita berbicara tentang cerita atau narasi yang membawa harapan kepada orang lain. Narasi atau cerita tentang pengalaman iman yang terjadi dalam sejarah (di tempat tertentu) di antara narator (pencerita) dan pendengar. Melalui narasi pencerita atau narator mengkomunikasikan pengalaman imanya dengan pendengar, sehingga membawa suatu transformasi bagi kehidupan si pendengar. Ketika membandingkan kisah tentang Yesus historis dan kisah tentang Yesus setelah bangkit yaitu Kristus bukanlah sutau kisah yang sama, melainkan kisah yang berbeda. Maka kisah atau cerita (narasi) antara "Yesus sejarah" dan "Kristus kerygmatis" tetap merupakan suatu dilema. Maka kedua kisah ini meninggalkan banyak pertanyaan yang tak dapat dijawab secara tuntas, namun memberikan makna iman yang mendalam kepada para pendengar (audience).

  1. Metz melihat teologi sebagai biografi. Menurut Metz di dunia saat ini (dunia modern) tampaknya jauh, karena ada perpecahan mendalam antara sistem teologis dan pengalaman religius, antara doxography dan biografi, antara dogmatis dan mistis. Menurut Metz tesis teologi saat ini selalu menggunakan konsep subjektif – personalistik dari pengalaman pribadinya, sehingga teologi yang diformlasinya tidak dapat menjawab persoalan hidup manusia. Jadi menurut Metz teologi biografi adalah teologi yang mengambil sikap kritis terhadap orientasi teologis yang lebih transendental dan berkonsentrasi pada subjek diri.

Bab tiga belas berbicara tentang solidaritas sebagai kategori untuk membantu sesama yang sedang mengalami penderitaan, dan sebagai dukungan yang diberikan, dan sebagai aksi bersama yang dapat membawa transformasi kehidupan bagi manusia di dunia ini. Solidaritas ini menurut Metz didasarkan pada cerita yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini untuk menuju ke masa depan yang lebih baik. Solidaritas ini adalah solidaritas dalam kenangan dengan orang-orang yang disalibkan, dibunuh, dianiaya dan ditindas dalam sejarah dunia ini, saat/masa lalu dan ini. Melalui solidaritas ini membawa kenangan bersama dan kisah bersama yang direalisasikan dalam kehidupan nyata atau tindakan nyata dalam kehidupan manusia; Bagi Metz ini adalah kisah kemanusiaan yang harus ditanggung bersama, terutama orang Kristen.

3. MEMBACA TEOLOGI DARI ISI BUKU

Titik tolak buku ini adalah refleksi atas teologi fundamental dalam fungsinya sebagai teologi praktis yang merespon masalah manusia dalam kisah hidupnya yaitu realitas sosial, ekonomi dan politik. Ada tiga poin penting sejarah yang mendorong Metz untuk merumuskan pendekatan teologisnya. Yang pertama adalah dialog dengan para pemikir Marxis revisionis, yang kedua adalah suasana politik yang bergejolak pada tahun 1960, dan yang ketiga adalah ajaran Konsili Vatikan II. Maka, Metz memulai dengan karya pertamanya yaitu sebuah artikel tentang teologi politik. Artikel ini dimuat di buku yang berjudul Teologi dunia. Dasar buku ini adalah refleksi teologi fundamental yang merumuskan teologi politik sebagai teologi fundamental praktis.

  1. dari rumusan teologisnya adalah perumusan atas masalah yang berhubungan dengan pengalaman manusia dengan Allah dalam realitas sejarah hidup mamnsuia di bidang sosial-ekonomi dan politik. Masalah-masalah ini dipecahkan atau dicari solusinya melalui metode teologis. Jadi sifat teologinya berbasis pada pengalaman manusia dalam sejarah hidupnya, tidak didasarkan pada gagasan atau metafika abstrak dan universal. Konsep teologis ini mendorong Metz merancang teologi yang bersifat "kontekstual" dari refleksi atas teologi fundamental yaitu teologi politik. Semangat Vatikan II mendorong Metz melahirkan sebuah teologi politik yang bersumber dari dokumen Konsili Vatikan II yaitu GS dan LG. Dokumen-dokumen ini mengungkapkan sifat Gereja dan perannya di dunia, yaitu Gereja sebagai missionaris dunia dan sakramen dunia (sacramentum mundi). Gereja harus di dunia dan bagi dunia, demi membela hak-hak mereka yang lemah, miskin, hidup dalam kekerasan, sakit, ditinggalkan, menderita karena dipresur oleh kekuatan politik dan ekonomi, bukan untuk memebela mereka yang berkuasa dan bukan juga untuk ideologi politik dan ideologi ekonomi tertentu.

Teologi politik Metz lahir dari pengalaman sejarah penderitaan manusia dalam kehidupan sosial, ekomi dan politik dengan visi eskatologis yang bersuber pada semangat iman, kasih dan harapan dengan berlandasakan pada kenangan, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus (memoria passionis, mortis, et resurrectionis Jesu Christi).

Teologi politik ini adalah teologi praktis guna mewujudnyatakan praktis iman dalam kehidupan nyata sehari-hari. Sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus adalah tindakan partisipatif dan solidaritas dengan mereka yang lemah, terpingirkan, terabaikan, miskin, dan yang hidup dalam kekerasan politik-ekonomi dan kekerasan lainnya. Teologi politik adalah bentuk kritik tajam dari Metz kepada teologi yang terlalu terkonsentrasi pada konsep transendental - ontologis. Menurut Metz, metode teologis yang terlalu transendental - ontologis tidak membawa makna bagi hidup manusia dalam situasi hidupnya yang nyata yaitu situasi politik, ekonomi dan sosial - budaya. Ia juga menegaskan bahwa bagi teolog yang ingin berteologi hanya dalam arti apologetika atau membela dan melindungi iman Kristen terhadap serangan agama-agama lain atau ideologi lain, maka teologi demikian pun tidak membahwa dampak yang berarti bagi kehidupan Gereja dan umat manusia.

4. PENILAIAN DAN DAMPAKNYA UNTUK MISI

4.1. Kritik

Salah satu pertanyaan yang patas diajukan kepada Metz, mengapa ia menamai karyanya dengan judul teologi politik? Karena baginya, formulasi teologinya berlandaskan pada realitas hidup manusia yang dominasi oleh sistem politik dan ekonomi. Jadi untuk itu Metz menggumuli realitas ini dengan pendekatan teologi fundamental. Maka, teologi politik ini merupakan suatu langkah baru yang dapat membuka jalan bagi refleksi teologis yang harus dimulai dari realitas sejarah manusia dalam sistem sosio-politik dan ekonomi. Teologi ini menarik para teolog agar kembali ke realitas dunia dan bagi dunia dan tidak melihat ke langit dan tidak bagi ideologi tertentu.

Teologi politik ini juga dapat menawarkan beberapa pokok refleksi teologis seperti: teologi sejarah, teologi pembebasan yang sudah dikembangkan, teologi solidaritas, teologi rasa sakit atau teologi memoria passionis (teologi kenangan penderitaan), teologi eskatologi, dan teologi naratif. Teologi politik ini merupakan metode baru teologi kontemporer. Melalui teologi politiknya, Metz mengkritik teologi klasik dan juga dogma Kristen. Dengan demikian diharapkan dapat mendorong para teolog agar membangun dialog yang konstruktif antara para teolog yang beraliran klasik dengan para teolog beraliran kontekstual. Fokus dialog adalah formulasi cara berpikir secara teologis yang lebih menekankan misi pembebasan dan pemerdekaan umat manusia dari berbagai persoalan dan tekanan, bukan hanya dalam pengertian spiritual melainkan juga dalam pengertian struktural – sistem sosial dan politik.

Dalam buku ini kita menemukan bahwa Metz juga menggunakan metode apologetika atau apologia untuk membuat refleksi tentang iman dalam perspektif baru, di mana ia mengawalinya dari sejarah umat manusia dan kenangan penderitaannya (memoria passionis), lalu menuju kepada visi eskatologi atau zaman akhir. Tetapi menurut pendapat saya Metz menggunakan metode ini untuk mempertahankan iman Kristen dalam konfrontasinya dengan beberapa ideologi seperti Marxisme, illuminisme, esistensialisme dan idealisme. Selain itu melalui teologi politik ini, Metz mengkritisi para teolog yang berbicara dari jauh tentang Tuhan, tentang Allah yang berada dalam realitas lain yang tak terlihat, Tuhan yang di atas, yaitu Allah yang transenden yang tidak datang dan tidak berpartisipasi dalam kehidupan manusia, terutama mereka yang lemah, sakit, terpinggirkan, menderita kekerasan, miskin, dan terlantar. Karena itu, Melalui teologi politik ini, Metz menegaskan bahwa Allah yang kita percaya dan sembah adalah Allah orang sakit, Allah yang menderita di dalam penderitaan manusia, Allah yang menangis melalui sesama yang menangis, Allah yang menjerit melalui manusia yang menjerit karena dianiaya, Allah yang berseru melalui orang-orang lemah yang berseru memohon bantuan. Teriakan mereka yang menderita adalah teriakan Allah sendiri (grida di Dio).

Karena itu, sebagai Gereja dan sebagai orang beriman (Kristen) kita SEHARUSNYA berani tampil untuk menolong mereka, bukan takut dan bungkam dan mengabaikannya. Teologi politik Metz juga mengkritik Gereja, terutama Gereja yang menyangkal atau melupakan sifatnya sebagai misionaris dunia dan sebagai pembawa misi Allah (missio Dei) ke dunia, terutama kepada mereka yang kecil, lemah, yang terpinggirkan, yang ditinggalkan, dan yang menderita. Teologi politik Metz ini juga mengkritik Gereja yang terlalu menekankan aspek kelembagaan, sehingga perhatianya pada tugas utamanya yaitu sebagai sakramen dunia (sacramentum mundi) diabaikan bahkan dilupakan.

Bahasa yang digunakan Metz untuk menganalisis dan merumuskan konsep teologisnya adalah bahasa filsafat yang mendominasinya daripada bahasa teologis-spiritual, walaupun isinya bersifat spiritual. Menurut saya, Metz juga menggunakan metode analisis fislosofis untuk mengembangkan karyanya sebagai teologi politik. Memang karena telaahannya adalah telahan teodecea yang pada dasarnya adalah telahan filsafat ke-Tuhan-an. Karena itu, wajar kalau Metz menggunakan kategori filosofis untuk merumuskan teologi politiknya lebih dari pada kategori alkitabiah-teologis.

4.2. Konsekuensi untuk Misi

Bahasa teologi politik yang digunakan Metz memang “keras” dalam pengertian fonetiknya, namun isinya bukan menggunakan pendekatan politik dalam artian in se, melainkan pendekatan teologis. Teologi politik ini membawa konsekuensi bagi misi Gereja dan orang Kristen yaitu, bahwa kita harus selalu menyadari diri bahwa Gereja dan orang kristen pada hakikatnya dipanggil Allah menjadi misionaris di dunia ini. Kita orang-orang Kristen dan Gereja (institusi atau hirarki) harus selalu menyadari diri bahwa kita memiliki tugas utama yaitu membawa misi Allah ke dalam dunia (missio Dei), terutama kepada mereka yang miskin, tak berdaya dan teraniaya, tersingkir dan terabaikan. Jadi IDENTITAS GEREJA dan ORANG KRISTEN adalah MISIONARIS ALLAH DI DUNIA ini.

Jadi teologi politik Metz, mendorong Gereja dan orang Kristen agar menggunakan metode pendekatan yang lebih tepat dan terarah untuk mewartakan Injil atau Kabar Baik (buona Novella) ke seluruh dunia khususnya misi pembebasan dan penyelamatan kepada mereka yang berada di pinggiran pusat pembangunan, mereka yang mengalami ketidakadilan dan kekerasan politik & ekonomi, mereka yang miskin dan tak berdaya. Dalam hasanya Paus Fransiskus menyebutanya, “mereka yang paling menderita, mereka yang paling miskin dan paling lemah” (loro che più sofferinti, più poveri e più deboli) pada saat Angelus di halaman Basilika St. Petrus, Roma pada tanggal 7 Desember 2014. Gereja (kita) tidak perlu TAKUT MEWARTAKAN KEBENARAN INJIL YANG MEMBEBASKAN ini kepada mereka yang berada di penjara ketidakadilan dan ketidakjujuran. Selain itu, dengan teologi politik ini mendorong Gereja dan orang Kristen agar BERANI untuk mempromosikan dan memperjuangkan keadilan, perdamaian, solidaritas terhadap mereka yang menderita kekerasan politik dan ekonomi, ditinggalkan, miskin, dan terpinggirkan . Inilah bentuk dari PERWUJUDAN IMAN YANG NYATA dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta ber-Gereja (men-Gereja).

Roma, 8 Desember 2014

Bernardus Bofitwos Baru, OSA