NASIB BUMI ADALAH NASIB MANUSIA

Klik Untuk Lebih Jelas : NASIB BUMI ADALAH NASIB MANUSIA
Klik Untuk Lebih Jelas : NASIB BUMI ADALAH NASIB MANUSIA
Klik Untuk Lebih Jelas : NASIB BUMI ADALAH NASIB MANUSIA
Klik Untuk Lebih Jelas : NASIB BUMI ADALAH NASIB MANUSIA

 

by Sr. Amelia Hendani, SGM

Sister of Earth Community at Green Mountain Monastery

Ada satu kalimat dari yang cukup popular yang diucapkan oleh Almarhum Thomas Berry, CP seorang imam dari ordo Passionis yang terkenal dengan dedikasinya dalam menyuarakan bumi dalam banyak karya-karyanya: “the glory of the human has become the desolation of the Earth and now the desolation of the Earth is becoming the destiny of human”; yang jika diterjemahkan secara bebas berarti kejayaan manusia telah menjadikan bumi merana, dan sekarang bumi yang merana telah menjadi nasib manusia.

Di masa kini kalimat ini sudah bukan lagi sekedar sebuah kalimat berat yang sulit dimengerti, dua atau tiga puluh tahun yang lampau mungkin kita tidak mengerti artinya. Apabila kita lihat sekeliling kita sekarang, bumi yang merana sudah menjadi pemandangan yang kita jumpai di mana-mana.

Indonesia yang memiliki area luas berupa hutan hujan tropis dengan kekayaannya yang luar biasa mengalami degradasi karena aktivitas pembalakkan liar, pertambangan, dan perkebunan sawit yang membabat area hutan secara signifikan. Jutaan hektar beralih fungsi menjadi perkebunan.

Semua aktivitas tersebut dilakukan demi memenuhi dan memuaskan kebutuhan manusia. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembukaan lahan perkebunan menyebabkan tanah yang semula merupakan milik para masyarakat adat menjadi berpindah tangan, seringkali dengan cara yang melanggar hak mereka. Ada banyak cerita bahwa mereka menjadi buruh di tempat yang dahulu merupakan milik mereka.

Apa yang dialami oleh saudari/a kita dari kelompok masyarakat adat selama puluhan tahun akibat konversi hutan ini merupakan sesuatu yang harus kita renungkan, dari situasi yang mereka alami, kita melihat sebuah dinamika yang secara umum terjadi pada manusia dan relasinya dengan bumi.

Boleh dikatakan bahwa desolasi atau nasib merana menjadi rangkap dua sifatnya. Bukan hanya tanah yang dahulunya menjadi tempat bergantung dan menjamin kehidupan masyarakat adat tidak lagi tersedia karena dikuasai perusahaan-perusahaan besar pemilik kebun sawit, tetapi juga tatanan yang bersifat spiritual pun ikut merana. Di masa lampau kedekatan masyarakat dengan bumi menjadi suatu ciri khas yang menjamin keberlangsungan hidup manusia dan komponen-komponen bumi lainnya. Ada sebuah sinergi antara manusia dan bumi, di mana bumi dengan segala aspek-aspeknya menjadi suatu petunjuk hidup yang membuat manusia menemukan eksistensi dirinya yang terdalam sebagai makhluk bumi.

Ketika sinergi ini mengalami disrupsi, meskipun seringkali tidak disadari, manusia mengalami krisis identitas yang oleh Thomas Berry disebut sebagai soul loss atau kehilangan jiwa. Maka merana bukan hanya di tingkat fisik dengan hilangnya sumber-sumber kehidupan, tetapi juga merana di tingkat psikik karena hilangnya identitas sebagai makhluk bumi.

Maka jika kita ingin mengembalikan identitas manusia sebagai makhluk bumi, kita perlu memperbaiki relasi kita dengan bumi. Mengembalikan kondisi bumi sebagaimana sebelumnya menjadi sesuatu yang mutlak karena hanya dengan pemulihan bumi maka eksistensi kita pun akan dipulihkan.