COVID-19 DAN HUMANISME KATOLIK DALAM TINJAUAN FILOSOFIS DAN ETIKA KATOLIK

 

Dr. Otto Gusti Madung, SVD

Pengertian Umum ttg Humanisme

Humanisme berasal dari kata bahasa Latin humanus(manusiawi) dan humanitasyang artinya kemanusiaan. Secara historis humanisme merupakan sebuah gerakan intelektual yang muncul di Eropa pada awal abad ke-14 dengan merujuk pada karya-karya klasik (sastra, filsafat) dari zaman Yunani dan Romawi kuno. Pemikir yang membidani lahirnya humanism pada abad ke-14 adalah Francesco Petrarca, Dante dan Boccaccio.

Humanisme menempatkan individu manusia atau lebih tepat martabat manusia sebagai pusat refleksi. Hal ini berseberangan dengan gambaran manusia pada abad pertengahan di mana manusia pada tempat pertama dipandang sebagai ciptaan Tuhan. Manusia abad pertengahan berada di bawah dominasi kekuasaan raja dan Gereja. Dan manusia hanya bermakna sejauh berada dalam komunitas Gereja.

Masyarakat Yunani dan Romawi kuno merupakan satu-satunya budaya yang sudah memiliki pandangan tentang “manusia universal” yang melampui batas-batas etnis, agama, suku dan budaya. Humanitas yang melampaui etnosentrisme itulah yang dihidupkan kembali pada zaman Renaisans abad ke-14 hingga 16 dan mencapai puncaknya pada abad 18. Pada abad ke-18, humanisme sebagai sebuah proses emansipatoris antara lain dirumuskan oleh filsuf Immanuel Kant dalam pengertian tentang Aufklärung atau pencerahan. Kant mendefinisikan Aufklärung sebagai “Ausgang der Menschheit aus der selbstverschuldeten Unmȕndigkeit”- “Keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri”. Manusia dianggap “unmȕndig” atau tidak dewasa karena tidak berani menggunakan akal atau nalar untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Karena itu semoboyan Aufklärung menurut Kant adalah: Sapereaude! Artinya beranilah menggunakan akal budi.

SemboyanAufklärunguntuk lebih berani menggunakan akal budi merupakan kritikan terhadap Gereja pada masa itu yang cenderung membatasi atau bahkan membungkam kebebasan berpikir manusia. Karena itu gerakan humanisme dengan penekanan pada kebebasan manusia juga muncul sebagai kritik atau protes atas absolutisme religius yang dialami masyarakat Eropa pada abad pertengahan. Dalam arti ini, humanisme adalah sebuah gerakan pembebasan dari dominasi agama atau lebih khusus dominasi Gereja. Karena itu sejumlah pemikir mengembangkan teori humanismenya dalam kaitan erat dengan kritik agama. Ludwig Feuerbach misalnya mengembangkan antropologi yang bebas dari prinsip-prinsip agama dan melihat manusia sebagai makhluk yang tertinggi. Agama atau Tuhan bagi Feuerbach tidak lain dari proyeksi manusia. Karl Max merancang proyek masyarakat komunis (tanpa klas) sebagai sebuah naturalisme dan humanisme sekaligus.

Apa itu Humanisme Katolik?

Seperti dijelaskan pada bagian terdahulu, humanisme lahir sebagai sebuah gerakan intelektual sekular yang ingin membebaskan dIri dari kungkungan agama pada abad pertengahan. Karena itu humanisme sering berjalan seiring dengan kritik atas agama seperti diwakili oleh para pemikir ateis seperti Feuerbach, Marx, Friedrich Nitzsche dan Jean-Paul Sartre.

Akan tetapi sesungguhnya dalam Gereja Katolik sendiri pada awal kelahiran humanisme terdapat sejumlah usaha untuk menafsir ajaran agama dari perspektif yang humanistis. Pada abad ke-15 misalnya Pico della Mirandollamenekankan kebebasan manusia sebagai citra Allah. Manusia sebagai makhluk yang bebas adalah esensi dari humanisme. Sebagai citra Allah manusia adalah pencipta dirinya sekaligus pencipta dunia yang baru. Hakekat citra Allah bukan saja terungkap lewat akal budi, melainkan lewat keniscayaan bahwa manusia mampu merumuskan sendiri hukum moral. Dengan demikian manusia tidak lagi dipandang sebagai nasib, tapi makhluk bebas yang dikaruniai akal budi untuk menciptakan hukum moral untuk menata hidupnya. Demikian pun eksistensi manusia di tengah kosmos bukan lagi sebuah keterberian. Menurut Pico, manusia tidak memiliki kodratnya sendiri, tapi ia harus mendefinisikannya seturut kehendak bebas. Di sini Pico mentransformasikan konsep teologis citra Allah menjadi konsep sekular tanpa kehilangan substansinya.

Dalam sejarah humanisme selanjutnya bermunculan sejumlah pemikir humanis Katolik seperti misalnya Henri Bergson, Maurice Blondel, Henri de Lubac. Dari pelbagai aliran humanisme Katolik ada sejumlah kriteria dasar yang mempertemukannya yakni pengakuan manusia sebagai ciptaan Allah dan sebagai pribadi yang bebas, terbatas dan dapat bertanggung jawab. Iman Kristiani memahami manusia sebagai citra Allah yang terpanggil menuju kebebasan dan tanggung jawab. Humanisme Kristiani menafsir relasi manusia dengan Tuhan dalam horison relasi yang harmonis dengan sesama dan alam semesta.

Solidaritas pada Masa Pandemi Covid-19: Antara Identitas Katolik dan Humanisme Sekular?

Seperti sudah disampaikan pada awal, humanisme adalah sebuah gerakan intelektual dan etis yang menempatkan manusia sebagai pusat refleksi. Humanisme memberikan penekanan pada pentingnya martabat manusia. Artinya, manusia tidak pernah boleh dijadikan sebagai instrumen untuk tujuan apa pun termasuk tujuan agama.

Jika humanisme dipahami seperti ini, maka sesungguhnya seluruh ajaran Yesus dalam Kitab Suci dapat dipandang sebagai kitab humanisme. Kita bisa ambil contoh dari Injil Matius 25,31-46 tentang pengadilan terakhir. Di sini Yesus bicara sebagai seorang humanis sejati. Pada pengadilan akhir zaman, Yesus menjadikan sikap peduli terhadap sesama manusia sebagai takaran keselamatan. Bahkan pertanyaan tentang identitas agama atau identitas Katolik dan kesalehan ritual sama sekali tidak relevan dalam teks ini.

Semua pertanyaan berkaitan dengan solidaritas terhadap penderitaan sesama: “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Matius 25: 35). Contoh sikap kasih yang paling otentik dan radikal ditunjukkan oleh Yesus sendiri. Radikalitas kasih Yesus terhadap manusia dan terutama mereka yang paling menderita telah menghantarNya ke peristiwa penyaliban.

Inti dari humanisme Katolik atau Kristiani adalah ajaran dan praksis hidup Yesus yang terungkap dalam tindakan kasih. Paus Fransiskus dalam AmorisLaetitiamenyebut belas kasih (mercy) sebagai “kepenuhan dari keadilan dan manifestasi paling sempurna dari kebenaran Allah”. Kasih adalah prinsip dasar karya Allah dan Yesus, dan karena itu harus menjadi prinsip dasar seluruh karya Gereja. Allah hadir di dalam Gereja ketika kita terlibat dalam praksis berbela rasa (compassion), belas kasih (mercy) dan perjuangan mewujudkan keadilan (justice) dalam dunia yang penuh penderitaan, terutama dunia orang-orang miskin.

Pertanyaan lebih lanjut, apakah humanisme Katolik ini terpancar dalam tindakan solidaritas selama masa pandemi Covid-19? Pada akhir April yang lalu sejumlah media massa memberitakan bahwa Paus Fransiskus memberikan bantuan funansial untuk 20 pekerja sex transgender di Italia yang terdampak secara langsung oleh pandemi Covid 19. Mereka hampir semuanya berasal dari Amerika Latin dan beberapa di antaranya tidak memiliki pasport karena pasport mereka dicuri oleh para mafia yang kemudian memaksa mereka untuk bekerja sebagai pekerja seks komersial. Bahkan beberapa di antaranya mengidap HIV dan AIDS. Sikap Paus Fransiskus itu sejalan dengan pernyataan yang pernah disampaikan sebelumnya: “If a person is gay and seeks God and has good will, who am I to judge? – “Jika seseorang adalah gay dan mencari Allah serta memiliki kehendak baik, siapakah saya untuk menghakiminya?”

Sikap Paus Fransiskus ini satu contoh humanisme religius dan sejalan dengan sikap Yesus yang melanggar hukum taurat dengan menyentuh para penderita penyakit kusta. Dengan menempatkan martabat manusia atau para penderita kusta sebagai pusat pelayanan, Yesus telah membatalkan sejumlah aturan agama yang diskriminatif dan mengkriminalisasi korban.

Penutup

Pandemi Covid-19 menyadarkan dan membuka kembali kesamaan antara umat manusia yakni kerentanan universal (commonvulnerability). Sebagai manusia kita terbentuk dari meteri yang sama dan rentan. Karena itu kita semua adalah saudara dan saudari terlepas dari perbedaan agama, ras, budaya, status sosial dan bangsa.

Kemanusiaan yang rentan itu menjadi basis persaudaraan dan solidaritas antar umat manusia. Persaudaraan tersebut mendesak kita untuk bersikap peduli terhadap yang lain terutama yang menderita lewat imaginasi, kreativitas, dedikasi dan sikap dermawan. Sikap peduli dan solidaritas berawal dengan mengakui dan menerima kerentanan kita bersama.

Pemimpin sejagad Gereja Katolik Roma, Paus Fransiskus, mengingatkan kita bahwa dunia sekarang sedang berada dalam kondisi dilanda “globalization of indifference” (globalisasi ketakpedulian) yang berdampak pada ketidakmampuan untuk menangis dan mengambil bagian dalam penderitaan orang lain. Di tengah dunia yang diwarnai dengan apatisme dan ketakpedulian, kita perlu mempromosikan budaya tandingan dan humanisme Kristiani yakni sikap bela rasa (compassion) dan belas kasih (mercy).

 

 

 

 

 

 

 

 

[1]Paper ini dipresentasikan pada tanggal 25 Juli 2020 (Pkl 10.00-12.30 WIB) dalam diskusi webinar bertemakan “Covid-19 dan Humanisme Katolik” yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pesparani Katolik Nasional