Terdampak Banjir, Ucu Anyik Rindu Berladang

 

Yuliana, Palangkaraya

Kusumawati (57) tetap berladang meski beberapa kali mendapat sindiran dari orang sekitar. Lahan tempat dia berladang kini semakin tidak bisa ditanam karena bencana banjir terus berulang sejak 2019 akhir. Tak ada pilihan, dia berladang dekat pemukiman di Desa Samba Bakumpai, Kalimantan Tengah.

Jemari Ucu Anyik lihai mencabut rumput-rumput yang tumbuh ganas di sela-sela tanaman padinya yang baru berusia satu setengah bulan. Warnanya serupa, namun Ucu dengan mudah mengenalinya. Sesekali tak sengaja dua tiga batang padi ikut dicabut, lalu ditanam kembali. Meski kening mengerut dan nafas terengah, perempuan Dayak Bakumpai tak lantas menyudahi pekerjaannya. Satu persatu rumput hama itu dicabut, dikumpulkan dan ditumpuknya di bawah pohon Pisang.

“Nyewut awen tanan uluh gila awi tukep dengan huma,” gumam Kusumawati (57) atau yang akrab dipanggil Ucu Anyik sambil bercerita saat berladang. Itu bahasa Dayak. Artinya banyak orang yang menganggap ladang padi Ucu Anyik seperti ladang orang gila. Hal ini karena letak ladang itu tidak jauh dari pemukiman warga di Desa Samba Bakumpai, Tumbang Samba, Kalimantan Tengah.

Akhir tahun 2022, Ucu memutuskan untuk pindah tempat berladang di sana. Ucu menjadi satu-satunya perempuan yang berladang padi di tengah desa. Banyak orang yang mengejeknya karena memang ladangnya dikelilingi rumah warga, dekat sekolah Madrasah dan TK. Lokasi ladang Ucu memang tak biasa, namun dia tak ada pilihan.

Sebelumnya, Ucu berladang di Tewang Tusur, sebuah lokasi perladangan yang digemari warga Tumbang Samba. Biasanya Ucu membutuhkan waktu tempuh kurang lebih satu jam menuju lokasi.

Namun, sejak bencana banjir terus terjadi sejak akhir 2019, dia sering merasakan gagal panen. “Banjir memang biasa terjadi karena ini dataran rendah. Namun sejak 2019, banjir lebih sering datang. Satu tahun 2-3 kali. Kadang surut sebentar lalu naik lagi.” Akibat banjir, jadwal musim tanam pun berubah dan tidak serentak. Banjir datang, tidak menentu. Ada yang mulai menanam bulan November, Desember, bahkan di awal tahun Januari.

“Ini mempengaruhi hama yang menyerang ladang.”

”Ini juga menyebabkan perubahan budaya. Tidak ada lagi handep/gotong royong, yang ada yaitu upah,” tambahnya.

Baginya, kondisi saat ini dan dulu begitu berbeda ketika berladang. Jika dulu, musim berladang jatuh pada bulan September, rutin setiap satu tahun sekali, orang-orang saling handep/gotong royong manugal dan waktu tanam serentak.

“Berladang saat ini banyak modal untuk membeli pestisida Roundop, sistem upah menyiangi rumput dan memanen.”

Bagi Ucu, tidak mudah begitu saja berhenti berladang. Hasil ladangnya biasanya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, juga digunakan untuk pakan ayam kampung yang dipelihara Ucu”.

Masa itu membuat Ucu membuat keputusan untuk berladang di dekat rumah saja. “Tak apa berladang di dekat rumah meski kecil. Yang penting ada. Kalau di Tewang Tusur jauh, apalagi banjir kita semakin sulit,” ujarnya.

Bagi Ucu, berladang menjadi sebuah perjuangan di masa tuanya agar kebutuhan tetap tercukupi.